
pembahasan tentang kontroversi Ma'had Al-Zaytun
NUKalteng.id, Bandung- Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Barat (Jabar) melalui Lembaga Bahtsul Masail (LBM), resmi mengeluarkan hasil pembahasan terkait polemik Ma’had Al-Zaytun. Hasil pembahasan tersebut dibacakan setelah menggelar kegiatan Bahtsul Masail yang bertempat di Pondok Pesantren Hidayatuttholibin Kabupaten Indramayu, Kamis (15/6/2023).
Hasil Bahtsul Masail tersebut resmi menyepakati bahwa Ma’had Al-Zaytun menyimpang dari ajaran Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja). Termasuk menafsirkan al-Quran secara serampangan yang jelas-jelas diancam Nabi masuk neraka.
“Istidlal pihak al Zaytun tidak memenuhi metodologi penafsiran ayat secara ilmiah, baik secara dalil yang digunakan ataupun madlul (makna yang dikehendaki),” bunyi salah satu putusan Bahtsul Masail tersebut, seperti dilansir dari jabar.nu.or.id.
Putusan LBM itu juga menyebutkan, Istidlal pihak al Zaytun dalam pelaksanaan shalat berjarak yang berdasarkan kepada QS Al-Mujadalah ayat 11 dapat dikategorikan menyimpang dari ajaran Aswaja. LBMNU berpandangan bahwa penyimpangan istidlal al-Zaytun dalam konteks ini, karena beberapa hal:
Pertama, makna “Tafassahu” dalam ayat bukan memerintahkan untuk menjaga jarak dalam barisan shalat, namun merenggangkan tempat untuk mempersilahkan orang lain menempati majlis agar kebagian tempat duduk.
Kedua, bertentangan dengan hadits shahih yang secara tegas menganjurkan merapatkan barisan shalat.
Ketiga, bertentangan dengan ijma ulama perihal anjuran merapatkan barisan shalat.
Kemudian, masih dalam polemik Al Zaytun, yang berdalih ikut kepada madzhab Bung Karno yang diungkapkan oleh Panji Gumilang sang pengasuh Ponpes, terkait penempatan posisi perempuan dan non-muslim diantara jamaah shalat yang mayoritas laki-laki yang disebutnya sudah sesuai dengan tutunan beribadah Aswaja.
LBM menyatakan hal tersebut tidak sesuai dengan tuntunan beribadah Aswaja dan statemen Panji Gumilang perihal di atas adalah hukumnya haram. Ketidaksesuaian tersebut dijelaskan dengan beberapa hal sebagai berikut:
Pertama, menyandarkan argumen fiqh tidak kepada ahli fiqh yang kredibel.
Kedua, menimbulkan kesalahpahaman di masyarakat bahwa formasi barisan shalat seperti di atas seakan merupakan hal yang disyariatkan (Syar’u ma lam yusyro’).
Lalu, pembahasan selanjutnya adalah mengenai hukum menyanyikan “Havenu shalom alachem”, mengingat secara historis lirik tersebut kental dengan agama Yahudi, baik dari segi kemunculan dan penggunaannya.
Hasil keputusan LBM PWNU Jawa Barat menegaskan, hukum menyanyikan lagu tersebut haram, karena beberapa hal berikut:
Pertama, menyerupai dan mensyiarkan tradisi agama lain.
Kedua, mengajarkan doktrin yang dapat berpotensi hilangnya konstitusi syariat perihal fiqih “mengucapkan salam” kepada non-muslim.
Selain itu, jawaban selanjutnya dari pertanyaan mengenai pandangan fikih terkait pemerintah yang terkesan membiarkan polemik al Al Zaytun, yakni dengan mempertimbangkan tugas dan kewajiban pemerintah sebagai berikut:
Pertama, menjaga masyarakat dari segala bentuk penyimpangan, baik agama, budaya dan norma yang berlaku.
Kedua, menjaga konstitusi syariat.
Ketiga, melakukan tindakan tegas terhadap segala bentuk kemunkaran sesuai tahapannya, maka pemerintah tidak dibenarkan melakukan pembiaran terhadap segala bentuk penyimpangan Ma’had al-Zaytun.
Terakhir, dari semua polemik yang muncul, hukum memondokkan anak ke pesantren al Zaytun adalah haram, ddasarkan pada alasan:
Pertama, membiarkan anak didik berada di lingkungan yang buruk (pelaku penyimpangan)
Kedua, memilihkan guru yang salah bagi pendidikan anak.
Ketiga, memperbanyak jumlah keanggotaan kelompok menyimpang. Karena kewajiban orang tua adalah memilihkan pesantren yang jelas sanad keilmuan serta masyhur kompetensinya di bidang ilmu agama.
Sementara itu, pasca dibacakan hasil Kajian Ilmiah Bahtsul Masail LBMNU Jawa Barat, Ketua Tanfidziyah PWNU Jawa Barat KH. Juhadi Muhammad memberikan rekomendasi kepada Pemerintah terkait Polemik Ma’had Al-Zaytun.
“Pertama, kepada pemerintah agar segera menindak tegas Ma’had al Zaytun dan tokohnya atas segala penyimpangan yang telah terbukti berdasarkan kajian ilmiah Bahtsul Masail LBMNU Jabar. Kedua, kepada para stakeholder agar memproteksi masyarakat dari bahaya penyimpangan Ma’had al Zaytun. Ketiga, masyarakat agar tetap tenang dan menyerahkan penindakan atas polemik yang terjadi kepada pihak yang berwenang,” tandasnya. (red)